Skip to main content

Resume : Meninjau Posisi Teori Evolusi dalam Biologi


Ilustrasi

Oleh: Salim Rusli

Pembicara      :  Dr. Angga Dwiartama & Dr. Sony Heru Sumarsono
Tempat          :  R. Rapat Back Office Salman ITB
Waktu           :  Jumat, 10 Juni 2016
Peserta      : Budhiana Kartawijaya (BPP Salman ITB/Studia Humanika), Salim Rusli (BPP Salman ITB/Studia Humanika), Uruqul Nadhif Dzakiy (Magister Studi Pembangunan ITB), Fahmi Maulana Kamil (Magister Studi Pembangunan ITB), Aditya Firman Ihsan (S1 Matematika ITB), Muh. Ikbal Arifiyanto (Dosen Astronomi ITB)

Diskusi dimulai dengan paparan Dr. Angga tentang perkembangan teori evolusi. Sebagaimana diterangkan dalam makalah Dr. Angga, pemikiran tentang “evolusi” sebenarnya sudah dimulai para filsuf Yunani dan Romawi. Lucretius misalnya, dalam puisinya De rarum natura, menggambarkan bagaimana makhluk hidup diturunkan dari makhluk hidup lain, dan semuanya terjadi secara kebetulan (fortuna). Pemikirannya ini bertentangan dengan pandangan Aristoteles yang melihat bahwa setiap materi adalah aktualisasi dari gambaran idealnya, atau forma (species dalam bahasa Latin). Kedua pemikiran ini mungkin mencerminkan perbedaan paling awal antara pandangan evolusionisme dan kreasionisme. 

Evolusionisme dan kreasionisme sering dipertentangkan orang, dengan mengasosiasikan yang pertama sebagai konsep penciptaan yang “tanpa tujuan” dan yang kedua sebagai konsep penciptaan yang “bertujuan”. Konsekuensinya, teori evolusi dianggap meniadakan peran bahkan eksistensi Tuhan, sementara teori kreasi dianggap sebaliknya. Namun, ternyata penganut evolusionisme tidak serta merta anti Tuhan. Jean Baptiste Lamarck misalnya, yang mendahului konsep evolusi Darwin, percaya bahwa makhluk hidup berkembang menuju kesempurnaan, dan karena itu ia percaya bahwa Tuhan lah yang menggerakkan proses evolusi ini. Darwin sendiri adalah pengagum William Paley, seorang filsuf Nasrani yang taat, yang berargumen bahwa kemiripan di antara makhluk hidup adalah kemiripan desain yang sudah sempurna sejak awal. Variasi dan adaptasi merupakan sebuah desain Ilahiah, melalui hukum-hukum alamiah, agar makhluk hidup dapat berfungsi sebagaimana mestinya di alam. 

Darwin di sisi lain, berargumen bahwa variasi yang muncul alam adalah hasil evolusi, yang bekerja lewat mekanisme adaptasi dan seleksi alam. Beberapa variasi dalam spesies musnah, dan yang lain bertahan karena mampu beradaptasi di tengah keterbatasan sumber daya dan perubahan lingkungan. Berbeda dengan Lamarck, Darwin menganggap tidak ada makhluk yang lebih sempurna atau lebih tinggi daripada yang lain. Pandangan ini dibentuk antara lain oleh kesedihannya menyaksikan perbudakan di Amerika Selatan dan respon masyarakat yang jauh dari peradaban. 

Lantas, jika Tuhan dapat dipandang bekerja lewat evolusi, mengapa muncul benturan antara agama (khususnya agama-agama Semit) dan teori evolusi? Dr. Sony Heru Sumarsono melihat ada dua penyebab benturan tersebut. 

Pertama, keterbatasan imajinasi manusia dalam membaca dan memahami teks sains dan teks agama. "Adam" sebagai manusia pertama misalnya, dibayangkan seperti manusia modern seperti saat ini yang mengikuti hukum-hukum atau proses-proses alamiah seperti evolusi. Padahal belum ada bukti fosil yang bisa membantu menggambarkan seperti apa sosok Adam. Menurut Sony, di tengah ketiadaan fosil tersebut, bisa saja Adam itu dibayangkan sebagai alien yang diturunkan ke bumi dengan sosok yang utuh. Di bumi, ketika beranak pinak, barulah keturunannya yang mengalami proses evolusi. 

Kedua, benturan terjadi karena memang muncul pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab ketika orang membandingkan teks agama (Al-Qur'an misalnya) dengan teks teori evolusi. Dalam teks Al-Qur'an misalnya, disebutkan bahwa alam semesta ini diciptakan dalam enam "hari". Bagaimana teks ini bisa dipertemukan dengan penjelasan teori evolusi bahwa usia kehidupan di bumi telah mencapai jutaan tahun? Jalan keluar yang biasanya dicoba adalah menafsirkan ulang teks atau mencari kemungkinan makna lain dari teks tersebut yang sekiranya bisa dipertemukan dengan teori-teori sains termasuk evolusi. 

Namun ternyata, untuk mencari titik temu tersebut di atas, bukan hanya teks-teks suci yang perlu menjadi obyek penafsiran ulang. Teks-teks sains pun demikian. Misalnya, masyarakat awam sering membandingkan bahkan mungkin terperangah dengan persentase kesamaan kromosom yang demikian besar antara manusia dan primata sejenis simpanse (atau bahkan babi, dan kentang). Nyaris 95% bahkan lebih, kromosom simpanse juga dimiliki manusia. Seakan-akan bagi awam, kemiripan kedua spesies ini sudah sangat dekat. Karena kemiripan ini pula, beberapa perilaku simpanse (seperti menggunakan dahan dan batu, kegiatan yang mirip ritual) ditafsirkan atau diklasifikasikan sebagai prototipe aktivitas berkebudayaan dan beragama, yang di masa depan dibayangkan dapat berevolusi menjadi "setingkat" peradaban manusia. 

Kemiripan kromosom ternyata tidak serta merta berkonsekuensi pada kemiripan fisik (apalagi mental?). Perbedaan kromosom antara simpanse dan manusia mungkin kurang dari 5%. Tapi simpanse masih belum berjalan tegak seperti manusia, mereka menggunakan alat bukan menciptakan alat, dan sains belum menemukan bukti adanya perkembangan (evolusi) perilaku penggunaan alat dan cara berjalan simpanse ini sejak ribuan tahun yang lalu. Manusia di sisi lain, dengan kedua "kaki depan" nya yang bebas bergerak, leluasa menciptakan alat, termasuk sistem tulisan yang kemudian membebaskan pikirannya lebih jauh lagi. Contoh lain, meskipun kentang dan manusia sama-sama memiliki 46 kromosom,  kita bisa melihat alangkah jauhnya perbedaan fisik antara keduanya. 

Kromosom dan gen di dalamnya, menurut Sony, ibarat seperangkat gamelan. Dua set gamelan mungkin sama persis. Namun bagaimana masing-masing dibunyikan sehingga membentuk suatu susunan lagu, adalah persoalan lain. Bahkan ketika dua buah lagu pun not-not nya nyaris serupa, perbedaan not di satu-dua titik dapat menghasilkan lagu yang sama sekali berbeda. 

Di tengah perdebatan antara pendukung teori evolusi dan teori kreasi, evolusi sudah kadung menjadi kerangka besar biologi modern. Sebagai kerangka, "lubang-lubang"-nya terus diisi temuan-temuan cabang biologi maupun sains lain sampai saat ini. Perkembangan aneka cabang biologi memang tidak mengharuskan saintisnya menyitir dan menganut teori evolusi. Namun sebagaimana ujaran  Theodosius Dobzhansky, seorang ilmuwan biologi, di tahun 1973, bahwa “tidak ada di dalam biologi yang masuk akal, kecuali dalam terang evolusi” (nothing in biology makes sense, except in the light of evolution). Evolusi dalam hal ini, mengacu pada Thomas Kuhn, menjadi paradigma karena konsensus besar para ahli biologi sampai saat ini. Bukan karena teori evolusi adalah kebenaran yang final, melainkan karena belum ada konsensus lain yang mematahkan atau menggantikannya. 

Sampai di titik ini, patut dicatat bahwa sebagai "konsensus", teori evolusi telah menjadi truth regime (rezim kebenaran, mengutip istilah Michel Foucault) yang kemudian menentukan status kesahihan sebuah pernyataan. Pernyataan-pernyataan yang mengemukakan adanya fakta-fakta yang tidak dapat dijelaskan oleh teori evolusi, akan dikesampingkan sebagai hoax, kesalahan pengamatan, error, dsb. Padahal, bisa saja pernyataan-pernyataan tersebut memang berbasis fakta, misalnya penemuan fosil homo sapiens yang usianya lebih dari 1,5 juta tahun, kerangka manusia raksasa, dll. Untuk menumbangkan teori evolusi, dibutuhkan usaha ekstra keras untuk membangun sebuah penjelasan baru, yang mampu mengakomodasi fakta-fakta yang diterima dan ditolak oleh teori evolusi. 

Bagaimana dengan konsekuensi-konsekuensi buruk teori evolusi bagi kemanusiaan (fasisme, materialisme, totalitarianisme dsb.), yang lazim disebut social darwinism? Nampaknya, konsekuensi tersebut lahir dari penafsiran atas teori evolusi, atau lebih buruk lagi: pencatutannya. Sebuah teori atau wacana pada umumnya, mengutip Weber, memang berpotensi menimbulkan "unintended consequences". Bandingkan bagaimana teori evolusi Darwin yang terinspirasi oleh perbudakan, ternyata diantaranya menginspirasi Adolf Hitler untuk menindas jutaan manusia selama Perang Dunia II. "Survival of the fittest", sebuah istilah yang sering muncul dalam penjelasan teori evolusi, kerap ditafsirkan sebagai kompetisi kekuatan, saling memangsa. Padahal Darwin sedang bicara tentang adaptasi dan seleksi alam. Kata "fit" sendiri bisa bermakna "cocok/adaptif" dan bukan hanya semata "kuat". 

Pada akhirnya, dibutuhkan kejelian untuk mengenali mana teks dan mana interpretasinya. Benturan-benturan wacana sangat mungkin bisa diredam dengan mengkritis dan melacak interpretasi-interpretasi yang terlanjur bertebaran. 

Namun, satu pertanyaan penting masih tersisa dari diskusi ini. Apakah memang teori evolusi dan teori kreasi (berikut agama sebagai dalil dan inspirasinya) memang perlu dipertemukan? Apakah mungkin keduanya justru akan berkembang lebih pesat jika menempuh jalurnya masing-masing? Wallahu a'lam bis shawab. [salim]


  

Comments

Popular posts from this blog

Pangan Fungsional

I.          Latar Belakang Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di masyarakat adalah kerusakan sel tubuh sebagai akibat aktivitas unsur radikal bebas yang terdapat dalam bahan makanan. Keadaan ini bisa terjadi karena kurangnya asupan bahan-bahan aktif yang dapat mencegah reaksi autooksidasi dari radikal bebas tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dibutuhkan asupan makanan, baik berupa sayuran, buah-buahan yang merupakan sumber antioksidan. Aktivitas antioksidan dapat menangkap radikal bebas, sehingga sel-sel yang rusak dapat dicegah ataupun diperbaiki. Selain dari sayuran dan buah sumber antioksidan juga dapat berasal dari tanaman  obat, jahe, mengkudu, lidah buaya, pegagan, temulawak, asitaba dan lain-lain. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut dapat bermanfaat sebagai sumber antioksidan misalnya flavonoid, tanin, polifenol dan lain-lain. Tanaman biofarmaka yang berfungsi sebagai antioksidasi dapat diformulasi me

Tahapan Kaderisasi

Kader berasal dari bahasa Yunani cadre yang berarti bingkai. Bila dimaknai secara lebih luas, berarti : Orang yang mampu menjalankan amanat. Orang yang memiliki kapasitas pengetahuan dan keahlian. Pemegang tongkat estafet sekaligus membingkai keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi Kader adalah ujung tombak sekaligus tulang punggung kontinyuitas sebuah organisasi. Secara utuh kader adalah mereka yang telah tuntas dalam mengikuti seluruh pengkaderan formal, teruji dalam pengkaderan informal dan memiliki bekal melalui pengkaderan non formal. Dari mereka bukan saja diharapkan eksistensi organisasi tetap terjaga, melainkan juga diharapkan kader tetap akan membawa misi gerakan organisasi hingga paripurna. Pengakaderan berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik, dan moral sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan diri

Aku Bahagia dalam Kesederhanaan

Kisahku, tak melulu berisi hingar bingar kebahagiaan. Aku juga bukan sosok flamboyan. Tak banyak orang mengenalku, begitupun aku belum mampu menjadi tauladan yang sempurna bagi banyak orang. Meski demikian, aku bersyukur atas segala anugerah yang Rabb berikan untukku. Aku yakin, kehidupan ini dan setelahnya selalu menjanjikan kebahagiaan, meski dengan bentuk yang lain. Sumber Sumber Sumber Di dalam hidup, aku mengenal sosok kedua orang tuaku. Mereka membesarkanku dalam perlakuan yang acak; ada lembut juga kasar, ada didikan juga kemarahan, ada pujian juga tamparan. Mereka tak banyak mengenalkanku pada kalimat-kalimat cinta, apalagi nasihat panjang seorang yang pandai bahasa. Mereka membesarkanku dalam kesederhanaan; sesederhana cinta orang tua kepada putrinya. Orang tuaku mengajarkanku cara bersyukur. Itulah yang paling mengakar di dalam kepalaku. Sepanjang hidup mereka tidak banyak menuntut. Apapun yang kami dapat, maka itu adalah sebuah kecukupan. Hidup ini